Film Satu Shot
Oleh Supriyadi
In film, a shot is a continuous strip of motion picture film, created of a series of frames, that runs for an uninterrupted period of time. Shots are generally filmed with a single camera and can be of any duration. A shot in production, defined by the beginning and end of a capturing process, is equivalent to a clip in editing, defined as the continuous footage between two edits. (wikipedia)
Banyak yang bertanya, kenapa film fiksimini “Berpisah” dari karya fiksimini Acha Chan hanya dibuat dengan satu shot. Kenapa satu shot? Inilah salah satu konsep pembuatan film. Tentang pengertian shot, penjelasan wikipedia di atas cukup jelas. Jadi, yang dinamakan satu shot itu pengambilan satu gambar secara kontinyu tanpa ada interupsi cutting, tanpa ada jeda. Ini merupakan metode awal mula sejarah pembuatan film dimana tehnik editing belum ditemukan.
Tapi ternyata konsep ini menjadi salah satu trend. Tentu saja untuk pembuatan film panjang, sequence shot, atau satu shot ada dalam satu rangkaian adegan cerita. Beberapa video klip menggunakan konsep ini. Bahkan para filmmaker dunia pernah membuat film dengan hanya satu shot saja.
Tim artistik berperan sangat penting untuk menghidupkan suasana mistis yang diinginkan. Untuk tempat dipilih sebuah ruangan yang diubah menjadi gudang. Ada meja tua di samping jendela dengan barang-barang yang bermakna simbolis di sekitarnya. Lilin, jam klasik, buku, majalah, patung garuda wisnu kencana, topeng, boneka usang di atas bantal dan koran dengan headline; “Penculikan Bayi Makin Meningkat”. Dan yang paling utama adalah klise dan foto.
Dalam film nampak shot dimulai dengan angin yang bertiup kencang mengibaskan tirai dan membuat lilin yang menyala terjatuh lalu membakar klise. Kamera lalu bergerak seakan mencari asal suara tangisan yang berasal dari foto. Untuk lebih dramatis foto dibuat menangis darah. Selain karena ‘air mata’ biasa tidak tampak jelas, ‘tangisan darah’ menyimbolkan kesedihan yang teramat dalam. Foto dibuat khusus untuk film ini, menampilkan sosok perempuan dengan ekspresi ‘misterius’.
Apakah adegan di film ini alami? Tentu saja tidak! Angin yang bertiup berasal dari blower yang dioperasikan oleh kru yang bersiap di balik jendela. Untuk menjatuhkan lilin, angin saja tidak cukup. Maka lilin dililit benang dengan rapi dan kru menariknya di balik jendela. Untuk membakar klise, dengan api lilin saja tentu membutuhkan waktu lama. Maka klise sebelumnya disiram dengan minyak Zippo. Nah, saat kamera bergerak ke arah foto ada kru yang bertugas segera memadamkan api agar seluruh properti tidak habis terbakar. Dari mana asal ‘tangisan darah’? Ada dua orang kru yang sekuat tenaga meniup dua selang yang dihubungkan ke kedua mata di foto tersebut. Cairan darah dibuat dari campuran susu yang diberi pewarna tekstil merah. Agar ‘cairan darah’ mudah mengalir sebelum menyuntikan campuran susu terlebih dahulu disuntikan Altis, sejenis cairan antiseptic yang berfungsi untuk pelumas. Setelah itu kedua orang kru meniup selang kuat-kuat. Butuh kerja keras untuk meniupnya karena selang berukuran kecil dengan panjang 2,5 m. Terbayang kan bagaimana ekspresi kru saat meniupnya?
Tentu saja, untuk mendapatkan satu shot yang diinginkan tersebut dibutuhkan kekompakan tim. Selain sutradara dan cameraman, ada 5 orang kru yang bekerja saat pengambilan gambar. Perlu 8 kali take sampai akhirnya sutradara berteriak ‘Cut! And wrap!’ alias bungkuuusss! Pengulangan yang membuat kami perlu mengganti klise 4 kali dan foto 2 lembar. Ternyata repot ya membuat satu shot saja. Tapi ini repot yang menyenangkan. Tidak percaya?! Silakan mencoba!
2 Responses to "Sinematografi Part9"
wow...ini baru yang namanya blog inspiratif. good job bro!
trims bro, lanjutkan
Posting Komentar