Seorang kawan mengeluh, tidak banyak orang menonton film dokumenter yang dia buat. Karya pertama dan mungkin akan menjadi karya yang terakhir, kini sang kawan menjadi pembuat film fiksi. Tak masalah, karena hidup memang pilihan. Kalau lebih nyaman menjadi sineas fiksi kenapa harus dipaksakan menjadi documentary maker?
Banyak yang bilang film dokumenter itu membosankan, benarkah demikian? Arrrggghhh….gak juga. Kalaupun ada dokumenter yang “membosankan” memang ada, tapi yang menarik jauh lebih banyak. Karena membosankan gaknya menurut saya tidak selalu dari film itu sendiri, bisa jadi kita sebagai penontonnya. Yang “dijual” dari dokumenter adalah ide, ya ide atau gagasan. Ide seperti apakah itu? Ya ide apa saja, yang menarik buat si pembuat dan penontonnya. Bagaimana ide dokumenter didapat? Ide bisa didapat dengan berbagai cara, dan ide bisa didapat dari mana saja. Ketika artikel ini sedang saya tulis, salah seorang mahasiswa saya telpon : Pak, untuk tugas dokumenter saya ada ide tentang bendera, bagus gak pak? Waduh, saya bingung untuk menjawabnya. Alih-alih saya bilang bagus atau gak, saya malah balik tanya, bendera apa? memang ada apa dengan bendera? jualan bendera? emang kita harus mengibarkan bendera?
Ide yang baik biasanya harus ada pesan yang disampaikan, mungkin basi ya dengernya. Masalahnya, bicara film dokumenter berarti berbicara tentang karya audio visual, berbicara audio visual berarti berbicara tentang media, tentang medium. Medium is message, demikian kata ahli komunikasi Marshall McLuhan. Berbicara tentang media berarti berbicara tentang pesan, bahkan seperti McLuhan tadi, media bisa menjadi pesan itu sendiri. Artinya, selain idea tau gagasan yang paling penting lagi adalah pesan apa yang mau disampaikan pada penonton. Hanya “sekedar” menyampaikan fakta-fakta saja, atau ada pesan sesuatu yang ingin disampaikan. Jadi, jauh sebelum dokumenter itu dibuat, sutradara harus memikirkan apa dan bagaimana pesan itu disampaikan. Yang artinya gaya, bentuk, serta struktur seperti apa yang akan dipakai nantinya ketika akan membuat dokumenter. Secara detail, hal akan dibahas pada serial tulisan ini selanjutnya. Saat ini kita fokuskan pada ide, pencarian ide, perumusan ide, dan bagaimana mengimplementasikan ide.
Think Small. Think Local.
Hemmm…tidak ada yang aneh dengan sub judul di atas. Kalau sebagian banyak orang menyarakan untuk berpikir seluas-luasnya tanpa batas, saya menyarankan anda untuk “berpikir” dari hal-hal kecil dulu. Kenapa demikian? Iya ini untuk memudahkan anda menemukan ide dalam film dokumenter. Hal kecil di sini maksudnya dari masalah-masalah yang ada di sekitar kita, lingkungan yang dekat dengan kita, lingkungan dimana kita tinggal. Masalah sosial tak akan ada habis-habisnya untuk dijadikan tema film dokumenter. Kepekaan kita waktu mengamati sesuatu, akan memudahkan kita untuk menemukan ide. Ide terkadang lahir dari ”lamunan”, tapi saya tidak menyarankan anda untuk berlama-lama melamun untuk mencari ide. Wawasan kita pada berbagai hal sangat membantu bagaimana ide itu bisa digali. Daya nalar dan sense kita bisa dilatih agar kepekaan kita mampu menghadirkan ide-ide yang bisa jadi sebetulnya ada di dekat kita, di depan mata kita, di lingkungan sekitar kita. Artinya, ide itu sebetulnya ada dimana-mana, tinggal bagaimana kita mampu untuk menangkapnya. Setelah ide didapat, langkah berikutnya adalah riset, observasi. Tentang riset akan di bahas pada seri berikutnya. Selamat mencari ide!
0 Response to "Dokumenter Part2"
Posting Komentar