Teknologi audio visual terus berkembang pesat, para
enginer tak pernah kehabisan dalam melahirkan berbagai inovasi.
Teknologi televisi termasuk di dalamnya, baik televisi sebagai medium
penerima suara dan gambar pun demikian dengan teknologi yang menopang
pada tayangan televisi itu sendiri, dari mulai kamera sebagai alat utama
untuk pengambilan gambar hingga mesin serta software editing sebagai
menunjang pada proses paska produksi televisi.
Namun tak serta merta
perkembangan teknologi ini bisa diikuti oleh semua negara, maka negara
maju akan lebih dahulu menerapkan bahkan mencipta teknologi baru
tersebut kemudian disusul oleh negara berkembang. Indonesia merupakan
salah satu negara yang agak tertinggal dalam aplikasi teknologi televisi
terkini. Pengalihan dari analog ke digital berlangsung pada tanggal 12
Juni 2009 di Amerika Serikat, 24 Juli 2011 di Jepang, 31 Agustus 2011
di Kanada, 13 Februari 2012 di Negara-negara Arab, dan dijadwalkan untuk
24 Oktober 2012 di Inggris dan Irlandia, pada tahun 2013 di Australia,
pada tahun 2015 di Filipina dan Uruguay, pada 2017 di Kosta Rika dan
pada 2018 di Indonesia.
Stasiun televisi swasta memanfaatkan
teknologi digital pada sistem penyiaran terutama pada sistem perangkat
studio untuk memproduksi, mengedit, merekam, dan menyimpan program
acara. Sementara pengelola satelit televisi digital memanfaatkan
spektrum dalam jumlah besar, dimana menggunakan lebih dari satu kanal
transmisi.
Generasi Tapeless
Yang tak kalah menarik dari era digital ini bukan sekadar teknologi saja, ada mindset
yang mesti diubah oleh para broadcaster di tanah air. Aspek rasio yang
sebelumnya 4 : 3 menjadi 16 : 9 yang berarti ukuran tampilan televisi
berubah lebih wide atau lebih lebar. Ini akan berkaitan dengan
banyak hal baik secara teknis maupun artistik. Kualitas gambar dan suara
yang jauh lebih baik merupakan kelebihan teknologi digital daripada
analog. Satu hal penting dari era digital adalah era dimana gambar dan
suara tak lagi disimpan pada pita kaset, maka era ini dinamakan juga
sebagai era tapeless. Data gambar, suara, dan timecode disimpan ke dalam
hardisk atau memory. Namun ada “permasalahan” baru ketika teknologi
analog menjadi digital ini salah satunya adalah proses pemindahan data
hasil shooting ke dalam mesin editing pada saat paska produksi. Ada
berbagai jenis file data yang tak serta merta bisa dikenali software
editing. Data hasil shooting bisa berupa MOV, AVHDC, MXF, XDCAM dan
beberapa lainnya. Lalu apa solusinya? Data tersebut mesti dikonversi ke
dalam bentuk data lain yang bisa dikenali software editing. Ada software
yang bisa mengkonversi data tersebut secara mandiri, namun ada juga
yang sudah embeded atau menmpel pada software editing. Istilah untuk
konversi data tersebut yakni codec.
Tentang Codec
Codec adalah singkatan dari dari
Compressor-Decompressor atau bisa Coder-Decoder yakni sebuah device atau
program yang mampu mengubah atau mentransformasikan sinyal atau aliran
data. Codec dapat mengubah stream atau sinyal ke dalam bentuk yang
terencode (sering dipakai pada transmisi, storage, enkripsi) kemudian
diterima, atau dapat mendecode bentuk tersebut agar dapat dilihat atau
dimanipulasi ke berbagai bentuk lainnya. Beberapa contoh format video
dan audio yang popular di antaranya: AVI, Quicktime, MJEPEG, AAC, Aiff,
Wav, dan MP3.
AVI ( Audio Video Interleaved )
diperkenalkan oleh Microsoft pada tahun 1992 sebagai bagian dari
teknologi Video for Windows miliknya. File AVI menyimpan data audio dan
video pada struktur interleaved. File ini hanya berupa kontainer- dan
data audio video dapat dikompres menggunakan berbagai codec. Kualitas
dan kapasitas tergantung pada codec dan secara khusus codec yang
digunakan adalah MPEG, Divx atau WMV.
Quicktime adalah teknologi
multimedia sekaligus format file yang dikembangkan oleh Apple Computer
dan pertama sekali diprkenalkan pada tahun 1991. file adalah kontainer
multimedia yang terbentuk atas satu atau lebih track seperti audio,
video, teks atau efek digital. Masing-masing track mengandung media
track, baik itu media stream yang telah di encode atau pointer-pointer
pada file eksternal. codec yang digunakan untuk compress dan decompress
data di Quicktime, JPEG, Divx, Cinepak, Sorensen dan bahkan MPEG-2 dan
MPEG-4. Oleh sebeb itu, quicktime lebih cocok digunakan untuk aplikasi
internet dibandingkan AVI.
MJPEG ( Motion JPEG) :
adalah codec video yang mengompres masing-masing frame sebagai JPEG
image yang terpisah. Kualitasnya tergantung pada pergerakan di footage.
Sebaliknya pada video MPEG, kualitas menurun apabila ada banyak gerakan
di footage. Kekurangan dari codec ini adalah ukuran file yang besar.
MPEG merupakan format kompresi yang distandarisasi oleh Moving Picture
Experts Group (MPEG), yang terbentuk oleh 350 perusahaan dan organisasi.
AAC (Advance Audio Codec adalah
sistem lossy compession untuk file audio, dikembangkan oleh Motion
Picture Expert Group ( Fraunhofer Institute, Dolby, Sony, Nokia dan
AT&T ) untuk menggantikan MP3. Ini perluasan dari MPEG-2 standard
dan mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan MP3, kompresi yang lebih
effisien dengan kualitas suara audio yang lebih baik dan mendukung
audio multichannel.
AIFF dan AIFC ( Audio Interchange File Format ) merupakan format file yang tidak dikompres, yang dikembangkan oleh Apple pada Machintosh dan platform Unix.
MP3 : MP3 (
MPEG-1/2 Audio Layer 3 ) adalah format audio yang paling poluler.
Menggunakan algoritma audio lossy compression untuk mengurangi ukuran
file, sambil memprouksi kembali lagi aslinya. MP3 dikembangkan di German
Fraunhofer Institute dan berbasis format MPEG. MP3 mengalami kejayaan
pada tahun 1995, dimana semakin banyak file MP3 tersedia di internet dan
popularitasnya semakin terdongkrak karena kualitasnya dan kapasitas
yang menjadi elative sangat kecil. Kompresi MP3 dapat dilakukan dengan
bit-rate yang beragam. Standar yang baik untuk kualitas audio dan ukuran
file adalah 128 Kbps, untuk mendapati kualitas yang mendekati kualitas
CD diperlukan bit-rate 192 kbps. Kualitas CD dan MP3 sulit dibedakan
pada bit-rate 192 kbps. Pada tahun 2001, MP3 Pro generasi berikutnya
diperkenalkan dan menawarkan kualitas suara dan kompresi yang sudah
ditingkatkan, namun karena tidak ada decoder MP3Pro gratisan, format
yang sebenarnya luar biasanya ini belum dapat menggantikan standar MP3.
Yang Perlu Diperhatikan
Proses pemindaian format data audio video
mesti diperhatikan dengan seksama, karena kalau tidak hasil akhir tidak
akan sesuai dengan yang kita harapkan. Setting untuk masing-masing
converter data audio video mungkin berbeda, namun secara umum yang harus
diperhatikan antara lain: aspect ratio, resolusi, serta frame rate.
Upscale atau mengubah skala menjadi lebih besar dan downscale atau
mengubah ukuran skala dari besar menjadi kecil sebenarnya tak
direkomendasikan, tapi jika ini memang terpaksa maka perhatikan ukuran
skala tersebut 4 : 3 menjadi 16 : 9 atau 16 : 9 menjadi 4: 3.
perbandingan aspect ratio
Resolusi video tak kalah pentingnya, ada beberapa resolusi video yang bisa dipilih yang paling baik tentu saja lostless yakni resolusi tertinggi alias tak ada penurunan kualitas dari sisi resolusi gambar.
Ada dua macam frame rate yang popular di
dalam video yakni 25f/s atau 50f/s. Yang paling penting sesuaikan dengan
kebutuhan akhir serta output stasiun televisi tersebut. Kesalahan
pemilihan frame rate akan membuat video menjadi jitter atau terlihat
bergetar terutama ketika gambar bergerak, baik pergerakan subyek maupun
karena pergerakan kamera ketika saat pengambilan gambar atau shooting.
Demikian juga dengan audio, percuma
gambar atau visual baik tapi kualitas audio yang buruk. Konversi audio
juga harus diperhatikan, kaitannya dengan konversi melalui codec salah
satu yang harus diperhatikan dalam audio apakah mengunakan 32Khz, 44Khz,
atau 48Kz. Penurunan kualitas audio bisa terjadi ketika pengaturan
setting audio pada konversi codec keliru.
Stand Alone vs Embeded
Seperti uraian di atas, bahwa ada dua
jenis converter untuk pengaturan codec yakni yang berdiri sediri atau
stand alone dan yang sudah menyatu dalam software editing video. Pada
dasarnya fungsinya sama persis, yakni memindai satu format ke format
lainnya. Yang membedakannya adalah yang satu dikonversi dahulu lalu file
tersebut “ditarik” ke dalam project software editing sedang satunya
lagi langsung dikonversi ketika file hasil shooting tersebut dipindahkan
ke dalam software editing.
Ada banyak converter yang bias digunakan
dari yang gratisan sampai yang berharga lumayan mahal. Yang paling
popular di antaranya Xilisoft Video COnverter, Miro Video, Total Video
Converter, iWosoft, dan lain-lain. Sedang untuk beberapa software
editing yang sudah embedded di antara Adobe Premiere CS 5 yang sudah
bisa meingfport file jenis XMF, Avid Composser, serta Final Cut Pro.
Mana yang lebih efektif? Ini tergantung
dari manajemen data yang diberlakukan pada masing-masing paska produksi
baik di production house maupun di televisi. Kalau itu dilakukan di
rumahan tentu lebih leluasa lagi.