Pelbagai acara televisi di berbagai kanal
seolah mengatakan “tonton kami, tonton kami!” Dan pada akhirnya hanya
tontonan menariklah yang akan menjadi pilihan pemirsa. Itupun mereka
belum tentu setia mengikuti acara televisi hingga akhir acara. Ketidaksetiaan
itu dipengaruhi oleh berbagai alasan, dan alasan paling umum biasanya
acara tak menarik untuk diikuti sampai selesai. Maka dalam hitungan
sepersekian detik penonton dengan mudah akan mengganti kanal atau
saluran televisi.
Seringkali acara televisi memiliki
segment tertentu, ketertarikan acara televisi dipengaruhi oleh minat
penonton karena berbagai hal di antaranya faktor usia, latar belakang
pendidikan, gender, dan status ekonomi sosial. Karenanya para kreator
acara televisi akan memperhatikan unsur tersebut. Akan tetapi itu bukan
segalanya karena kontent yang menariklah yang akan menjadi pilihan
akhir.
Informasi, Edukasi, Hiburan!
Televisi apapun itu selalu terkait dengan
tiga hal besar, ia harus memiliki unsur informasi, edukasi, dan
hiburan. Dan unsur terakhir rupanya merupakan rumusan yang tak boleh
dihindari, bahkan untuk jenis acara apapun. Ya, nyatanya acara televisi
mesti menghibur. Kenapa unsur hiburan itu penting? Karena sebagian besar
penonton tak menganggap serius apa yang ditayangkan di televisi. Lalu
bagaimana untuk acara-acara televisi non hiburan? Medium is messege.
Televisi sebagai media adalah pesan itu sendiri. Karenanya acara yang
mengandung unsur informasi dan edukasi juga memiliki tempat. Acara
berita tenntu saja, kanal-kanal televisi berita memiliki penontonnya
sendiri. Demikian juga dengan acara yang memiliki unsur edukasi.
Walaupun nyatanya tak seelok acara berita dan hiburan. Sebut misalnya
Blomberg TV, LiTV, Deutche Welle, dan E-TV yang memiliki banyak acara
edukasi, ia juga memiki penontonnya sendiri.
foto: art.stanford.edu
Dokumenter TV vs Acara Lain
Di antara format acara televisi yang
memiliki kekhasan dan memiliki penonton tersendiri ialah dokumenter.
Sebetulnya dokumenter televisi merupakan salah satu format acara
televisi paling awal era tayangnya televisi itu sendiri, namun berbagai
format baru nyaris saja menggilas acara ini utamanya acara dengan format
hiburan seperti sinetron, gameshow, music show, talent hunting
atau ajang pencarian bakat, dan quiz. Karenanya para kreator dokumenter
televisi mesti berpikir keras bagaimana agar dokumenter televisi bisa
tetap menjadi tontonan menarik, bahkan memiliki ketiga unsur tadi yakni
memberikan informasi, ada unsur edukasi, serta menghibur. Maka
kanal-kanal televisi dokumenter bisa masih eksis, Discovery Channel
sebagai salah satu televisi yang mengkhususkan pada acara dokumenter
melahirkan kanal-kanal baru yang lebih spesifik seperti Discovery Kid
dan Discovery Family.
foto: publicaffairs.ubc.ca
Realitas dan Kreativitas
Dua hal yang paling khas dam dokumenter
televisi ini tak bisa dipisahkan, realitas atau kenyataan alias bukan
fiksi serta kreativitas, yaitu bagaimana agar sesuatu yang ada dalam
kenyataan ini bisa didesain sedemikian rupa dengan sekreatif mungkin
oleh para pembuat dokumenter televisi. Karenanya dokumenter sering
disebut sebagai perlakuan kreatif atas realitas.
Bisa jadi inilah yang menjadi titik poin
kenapa dokumenter televisi di Indonesia masih belum menjadi acara
unggulan kecuali di beberapa televisi seperti MetroTV, TVOne, KompasTV
dan terakhir NET. Kreatifitas semestinya tanpa batas agar dokumenter tak
menjadi acara yang membosankan. Ada beberapa faktor kenapa ini tak
terjadi secara baik di televisi yang ada di Indonesia. Kreativitas akan
berkaitan dengan sumber daya manusia alias yang terlibat pada pembuatan
dokumenter tersebut. Data sebagai salah satu hal yang sangat penting
seringkali diabaikan. Data yang kemudian diolah menjadi fakta karena
riset masih dirasa minim.
foto: netmedia.co.id
Hal lain yang tak kalah penting
adalah menyangkut ide dan tema. Sebagai salah seorang juri di KPI Award
kategori dokumenter televisi, penulis melihat tema yang diangkat dalam
dokumenter televisi kita masih kurang beragam. Dan ini menjadi catatan
yang kita sampaikan pada KPI Award 2012 lalu.
Sekadar Dokumentasi
Mungkin ini kritik yang agak berlebihan,
tapi dengan berat hati penulis sampaikan nyatanya dokumenter televisi
kita masih banyak yang sekadar dokumentasi. Separah itukah? Semoga tidak
demikian ke depannya, setidaknya kabar baik itu bisa kita lihat pada
dokumenter televisi di KompasTV dan NET. Namun secara umum memang
dokumenter televisi kita jauh dari apa yang dikatakan di atas, perlakuan
kreatif atas realitas. Alih-alih kreativitas yang tinggi, beberapa
serial dokumenter televisi kita masih minim akan riset. Ini bisa kita
temui misalnya ketika kita menonton dokumenter televisi di tv kita minim
akan informasi sehingga informasi yang disuguhkan cenderung dangkal.
Ditinggalkan atau Mengejar
Pilihannya hanya ada dua, dokumenter
televisi kita akan ditinggalkan atau dibuat sedemikian rupa menarik
dengan mengejar program-program yang jauh lebih dahulu diminati
penonton. Berat memang, dokumenter televisi tak bisa sedramatis sinetron
atau FTV yang memang naskahnya dibuat berdasar khayalan. Namun bukan
berarti dokumenter tidak bisa menarik. Hal-hal teknis yang bisa
dilakukan pada program lain bisa juga diterapkan pada dokumenter
televisi. Untuk videografi atau pengambilan gambarnya, dokumenter
televisi di NET sudah lumayan bahkan bagus menyusul dokumenter yang ada
di KompasTV. Keindahan gambar pada dokumenter televisi tidak kalah
dengan gambar-gambar yang ada di sinetron. Namun masih ada yang mesti
diperbaiki yakni konten atau isi acara. Riset menjadi teramat penting
dilakukan oleh para pembuat dokumenter televisi. Tentu saja bukan riset
yang ala kadarnya. Demikian juga dengan tema. Dari Aceh hingga Papua,
dengan keberagaman hayati, sosial, seni, dan budaya sepertinya tak akan
pernah kurang. Subyek dan obyek yang itu-itu saja apalagi misalnya
tempat yang sudah sangat familiar tentu akan menjadi membosankan jika
itu terus diulang. Artinya para kreator jangan terjebak dengan hal yang
itu-itu saja. Keberagaman dan pelbagai potensi alam serta aspek sosial
di dalamnya merupakan modal yang sangat besar. Lalu beranikan para
pembuat dokumenter mulai melirik tema lain yang tak sekadar ikut-ikutan
dengan hasil dokumenter televis yang pernah dibuat sebelumnya?
gambar: nationalgeographic.co.id
Lokal untuk Global!
Ini barangkali kelemahan lain para
pembuat dokumenter televisi kita, mereka membuat acara dokumenter memang
untuk ditayangkan di tv lokal, nasional, atau berjaringan nasional.
Jadi membuat dokumenter hanya berdasar yang “diinginkan” lokal
saja. Barangkali akan beda jika para pembuat dokumenter berpikir bahwa
kelak hasil dokumenter televisi tersebut akan ditayangkan secara
internasional seperti halnya National Geographic atau Discovery Channel.
Karena dengan ditayangkan luas di berbagai negara, secara kualitas juga
akan memenuhi standar internasional. Quality control yang
mereka lalkukan sangat ketat, baik aspek teknis maupun konten. Jadi,
buatlah acara dokumenter televisi konten lokal yang (akan) ditayangkan
di televise jaringan mancanegara.
Akankah para jurnalistik
media cetak juga mau mengakui dan setuju untuk memberikan istilah pada karya
tulis feature di suratkabar dengan istilah dokumenter?
Dokumenter TV lebih tepat untuk menyebut istilah Feature
Pada buku Teknik Produksi Program TV yang ditulis oleh Fred
Wibowo, dijelaskan definisi dari feature, yaitu suatu program yang
membahas suatu pokok bahasan satu tema, diungkapkan lewat berbagai pandangan
yang saling melengkapi, mengurai, menyoroti secara kritis dan disajikan dengan
berbagai format (bab 9 : 188).
Kemudian dijelaskan kembali pada paragraph berikutnya pengertian
dari format tersebut adalah wawancara, show, vox-pop, puisi, musik, nyanyian,
sandiwara pendek atau fragmen (9:188). Selanjutnya juga dijelaskan didalam buku
tersebut bahwa feature merupakan gabungan antara unsur
dokumenter, opini dan ekspresi (9:189).
Kemudian beberapa kalangan jurnalistik tv yang menyebutkan
program tvfeature, sebagai sebuah bentuk karya yang berbeda dengan karya
dokumenter, dengan alibi yang tidak memiliki dasar yang pasti, mengungkapkan
bahwa karya feature ini adalah sebuah karya yang lebih
menitik-beratkan pada kedalaman informasi, jelas-jelas hanya mencari-cari
alasan yang tak pasti dan terkesan membela dirinya. Film dokumenter seperti
yang telah dijelaskan telah mencakup kedua hal tersebut didalam melayani
informasinya.
Dengan penjabaran diatas, jelas sudah bahwa karya program tv
yang dimaksudkan dengan feature, hanyalah istilah yang digunakan
dengan mengadopsi secara serampangan. Begitu beragamnya bentuk program televisi
yang mengusung isi dan tema sebuah realitas tertentu, hanyalah varian dari
format awalnya, yakni dokumenter. Kata feature hanyalah diperuntukkan
bagi durasi jam tayang atau masa putar sebuah film, yang lebih tepatnya film
panjang, karena berdasarkan durasinya film terbagi atas film pendek –short
film-, film menengah –middle film- dan film panjang –feature film-.
Maka dengan pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya,
karya featurepada televisi dapat dikatakan TIDAK ADA,
atau istilah ini tidak dikenal pada karya-karya yang dimaksudkan oleh kalangan
yang mengusung istilah ini, karena nama dari program ini sudah begitu identik
dan sudah menemukan jati dirnya sebagai DOKUMENTER, kalaupun untuk
membedakan karya dokumenter, hanyalah sebatas pada ruang media penayangannya
saja, yaitu film dan tv, maka akan jauh lebih baik dan lebih bijak dengan
memberikan istilah karya feature ini sebagai karya DOKUMENTER
TV.
Sedangkan untuk penegasan sekali lagi, kata feature secara
umumnya dikenal hanya sebagai persamaan dari durasi atau masa putar tayangan
sebuah film, baik itu film fiksi dan film dokumenter.
Maka fakta yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut, bahwa:
- Sejak kemunculannya, film telah mempertunjukkannya kedalam
dokumenter, meskipun masih
teramat sederhana.
- Film memiliki bahasanya yang unik dan khas,
tidak hanya pada unsur teknis, tetapi juga pada
kisahnya. Dengan kata lain,
film apapun akan memberikan kisah, meskipun itu sebuah film
abstrak.
- Kehadiran TV telah memberikan ruang baru
terhadap dokumenter. Eksplorasi dokumenter pun
semakin kaya.
- Di Indonesia, berdirinya stasiun TV Swasta
menyebabkan masuknya para jurnalis media cetak
dan membawa apa yang
menjadi cirri media cetak kedalam media elektronik, tv. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya
istilah feature di media tv.
- Definisi feature yang tidak
jelas dan serampangan bahkan tidak memiliki sumber yang pasti,
menyebabkan
kebingungan, bahkan diantara para jurnalis tv itu sendiri.
- Kekuatan senioritas dikalangan jurnalis media
cetak tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan
media film dan tv.
- Unsur teknis dan penuturan naratif pada film
(bioskop dan dokumenter) merupakan fakta bahwa
karya feature bukanlah
karya audio-visual, melainkan karya tulisan media cetak.
- Rentang informasi naratif yang diberikan baik
pada film ataupun dokumenter, bukanlah sebuah
standar definisi dari
isitilah yang dimaksud dengan karyafeature.
- Feature hanyalah istilah yang digunakan sebagai durasi pada film
(bioskop dan dokumenter)
yang penayangannya
lebih dari 1 jam/60 menit.
Dengan demikian dari uraian yang telah dijelaskan diatas
sebelumnya, dapatlah menjadi tolok ukur kita dalam menggunakan istilah feature pada
karya dokumenter televisi. Untuk itu sebaiknya hanya ada satu pertanyaan yang
harus dijawab dari pembahasan ini, yaitu:
0 Response to "Dokumenter Televisi, Bukan Sekadar Dokumentasi"
Posting Komentar