Latest Updates

Editing Televisi, Apa yang perlu diperhatikan?

Editing Televisi, Apa yang perlu diperhatikan?

Paska produksi sebagai salah satu bagian penting di penyiaran televisi harus didukung oleh sumberdaya manusia serta teknologi penunjang sehingga keberlangsungan siaran televisi akan terjaga dengan baik. Industri yang mensupport baik hardware maupun software terus membuat inovasi sehingga pengguna akan menjadi dimudahkan.
Industri yang mensupport kebutuhan televisi itu misalnya Sony Electronics, Avid Technology Miranda, Adobe, dan Quantel. Karenanya saat ini production house atau televisi tinggal memilih produk mana yang paling cocok untuk menunjang kebutuhan di paska produksi tersebut.

Ada tiga elemen penting di paska produksi atau post production televisi yakni sumberdaya manusia, hardware atau piranti keras, serta software atau piranti lunak. Ketiga elemen ini tak bisa dipisahkan. Secangih apapun hardware dan software yang digunakan jika tidak ditunjang dengan sumberdaya manusia yang baik maka peralatan serta software editing menjadi tidak akan berfungsi maksimal dari mulai proses rekruitmen hingga pelatihan yang diberikan pada semua yang terlibat di proses paska produksi sangatlah penting. Karena tak melulu perihal manusia, departemen HRD juga tak boleh abai dengan departemen lain misalnya Departemen Tehnik karena keterkaitan antara 3 hal tadi yakni human resourse, hardware, serta software.
ruang editingfoto: http://www.colorleasingstudios.com

Semua Tentang Pilihan
Alih-alih menggali sendiri untuk menyesuaikan dengan kebutuhan serta budget yang disediakan, seringkali production house dan bahkan penyiaran televisi di Indonesia ikut-ikutan ketika dia memilih produk untuk paska produski yang akan mereka gunakan. Maka industri televisi dunia biasanya dijadikan kiblat tentang alat apa saja yang mereka gunakan dan adakalanya itu belum tentu cocok atau kompetibel dengan misalnya peralatan lainnya. Hal lain tentu saja tentang budgeting yang bisa jadi akan membengkak karena perhitungan yang keliru.
Hingga saat ini ada puluhan software editing televisi. Ada kekurangan dan kelebihan dari masing-masing software tersebut. Yang paling popular di antaranya Adobe Premiere CS, Final Cut Pro, Sony Vegas, dan Avid Composer. Sampai sekarang software-sofware ini saling bersaing ketat. Dan nampaknya Avid Composer dan Final Cut Pro menduduki peringkat paling atas. Lalu apakah dengan demikian televise atau PH di Indonesia harus menggunakan satu di antara kedua software paling popular tersebut?  Tentu saja tidak. Karena ada juga software yang jauh lebih murah akan tetapi masih memiliki tools yang cukup mumpuni yang diperlukan oleh editor.
tiga softwaregambar: http://www.poptent.net/

Legalitas
Perihal legalitas software yang digunakan ini memang masalah lain, tak hanya software editing saja bahkan software untuk keperluan lainpun nampaknya masih banyak pengguna di Indonesia yang memakan software illegal. Dengan demikian misalnya berapapun harga software orisinal Adobe Premiere atau Avid Composer menjadi tak masalah, harga menjadi sama dan murah tak masuk akal karena bajakan atau illegal tadi. Ini penulis kira harus segera dihentikan karena bukan tidak mungkin dengan maraknya penggunaan software illegal ini para produsen bisa menuntut si pengguna. Bahkan mereka bisa melakukan itu saat ini juga, jika mereka inginkan.

Supporting
Software editing tidak berdiri sendiri, ia akan berkaitan dengan hardware serta software penunjang lainnya. Karenanya tidak bisa begitu saja memilih software editing tanpa melihat hal penting lainnya itu. Software yang canggih akan tak maksimal jika tidak didukung oleh hardware yang bagus. Maka spesifikasi hardware yang disyaratkan oleh software editing harus diperhatikan. Beberapa editor selalu ingin menggunakan software editing versi terkini agar tak terlihat ketinggalan, namu sayangnya kadang ini tidak dibarengi oleh yang memiliki atau mengelola departemen paska produksi dimana editing ada di dalmnya. Hal lain tentang Codec, Codec atau coder-decoder yang mentransfer data satu menjadi data lainnya seringkali diabaikan editor. Padahal di era digital saat ini tak boleh diabaikan. Resolusi gambar, aspek rasio, serta sample rate audio semua ada di codec sebagai supporting pada software penyuntingan gambar.

Era Digital
Memang era televisi digital di Indonesia masih beberapa tahun lagi dan sudah ada beberapa televisi mencoba siaral digital, namun kabar buruknya ialah hampir sebagian besar televisi kita belum siap dengan era digital ini terutama televisi dengan siaran teresterial. Jika adaptasi tidak segera dilakukan maka akan keteteran nantinya. Dan kita tidak bisa bersaing dengan televisi asing. Era digital bukan melulu tentang format digital, bukan tentang skala 4 : 3 berubah menjadi 16 : 9, lebih dari itu akan ada keterkaitan dengan teknologi lainnya bahkan yang diluar teknologi, seperti aspek estetika misalnya.
codeccc 

Editor, Sekadar Operator
Editor sebagai orang yang sangat penting di departemen paska produksi seringkali dihadapkan dengan tenggat atau deadline. Maka beberapa PH dan televisi membuat SOP atau standard operation serta manajemen waktu. Dan seringkali aturan itu berbeda di satu PH atau TV dengan PH atau TV lainnya. Bahkan di beberapa televisi yang dimiliki oleh grup yang sama. Agak aneh memang, tapi kenyataanya begitu. Editor itu penyunting gambar, ia yang akan menyusun serangkaian hasil shooting menjadi satu kesatuan cerita. Tak sekadar potong sambung, ia harus memiliki kemampuan serta sense sehingga hasilnya tidak asal-asalan. Aspek peenyambungan gambar seperti spasial, ritmik, tempo, dan ruang itu sebagai syarat utama yang mesti dikpahami dan dimiliki oleh para editor. Sayangnya ini kerap tidak terjadi, sebagian yang juga disebut editor nyatanya hanya sebagai operator. Hanya memotong dan sambung tanpa memikirkan kaidah-kaidah editing yang baik.
Post-Effects-Visual-Part-2-1 

Solusi
Penulis yakin selalin beberapa hal yang dipaparkan di atas, masih ada problem lain di paska produksi televisi ini. Sebagai pintu gerbang sebelum program ditayangkan, semestinya paska produksi diberi perhatian yang baik. Kalau perlu top management televise dan atau production house bisa melihat langsung di lapangan. Karena untuk beberpa hal, para supervisor di paska produksi bahkan head of post production memiliki kekurangan sehingga paska produksi di banyak ph dan tv di Indonesia menghadapi problem yang beragam.
Saran penulis bagi para editor, belajar bisa dimana saja termasuk dari internet tentu saja. Bisa juga dengan menonton program luar dan tentu saja amati, banyak sekali acara berskala internasional yang dari sisi penyuntingan gambanrya bagus sekali. Tak mesti meniru, jadikan acara tersebut sebagai referensi. Dan referensi tentu saja sebanyak mungkin. Deadline tidak bisa dihindari, tapi itu semua tidak boleh menjadi penghalang untuk menjadi oarang-orang kreatif di belakang layar.

Mengenal Codec untuk Format Televisi

Mengenal Codec untuk Format Televisi
Teknologi audio visual terus berkembang pesat, para enginer tak pernah kehabisan dalam melahirkan berbagai inovasi. Teknologi televisi termasuk di dalamnya, baik televisi sebagai medium penerima suara dan gambar pun demikian dengan teknologi yang menopang pada tayangan televisi itu sendiri, dari mulai kamera sebagai alat utama untuk pengambilan gambar hingga mesin serta software editing sebagai menunjang pada proses paska produksi televisi.

Namun tak serta merta perkembangan teknologi ini bisa diikuti oleh semua negara, maka negara maju akan lebih dahulu menerapkan bahkan mencipta teknologi baru tersebut kemudian disusul oleh negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara yang agak tertinggal dalam aplikasi teknologi televisi terkini. Pengalihan dari analog ke digital  berlangsung pada tanggal 12 Juni 2009 di Amerika Serikat, 24 Juli 2011 di Jepang, 31 Agustus 2011 di Kanada, 13 Februari 2012 di Negara-negara Arab, dan dijadwalkan untuk 24 Oktober 2012 di Inggris dan Irlandia, pada tahun 2013 di Australia, pada tahun 2015 di Filipina dan Uruguay, pada 2017 di Kosta Rika dan pada 2018 di Indonesia.
Stasiun  televisi swasta memanfaatkan teknologi digital pada sistem penyiaran terutama pada sistem perangkat studio untuk memproduksi, mengedit, merekam, dan menyimpan program acara. Sementara pengelola satelit televisi digital memanfaatkan spektrum dalam jumlah besar, dimana menggunakan lebih dari satu kanal transmisi.

Generasi Tapeless
Yang tak kalah menarik dari era digital ini bukan sekadar teknologi saja, ada mindset yang mesti diubah oleh para broadcaster di tanah air. Aspek rasio yang sebelumnya 4 : 3 menjadi 16 : 9 yang berarti ukuran tampilan televisi berubah lebih wide atau lebih lebar. Ini akan berkaitan dengan banyak hal baik secara teknis maupun artistik. Kualitas gambar dan suara yang jauh lebih baik merupakan kelebihan teknologi digital daripada analog. Satu hal penting dari era digital adalah era dimana gambar dan suara tak lagi disimpan pada pita kaset, maka era ini dinamakan juga sebagai era tapeless. Data gambar, suara, dan timecode disimpan ke dalam hardisk atau memory. Namun ada “permasalahan” baru ketika teknologi analog menjadi digital ini salah satunya adalah proses pemindahan data hasil shooting ke dalam mesin editing pada saat paska produksi. Ada berbagai jenis file data yang tak serta merta bisa dikenali software editing. Data hasil shooting bisa berupa MOV, AVHDC, MXF, XDCAM dan beberapa lainnya. Lalu apa solusinya? Data tersebut mesti dikonversi ke dalam bentuk data lain yang bisa dikenali software editing. Ada software yang bisa mengkonversi data tersebut secara mandiri, namun ada juga yang sudah embeded atau menmpel pada software editing. Istilah untuk konversi data tersebut yakni codec.

Tentang Codec
Codec adalah singkatan dari dari Compressor-Decompressor atau bisa Coder-Decoder yakni sebuah device atau program yang mampu mengubah atau mentransformasikan sinyal atau aliran data. Codec dapat mengubah stream atau sinyal ke dalam bentuk yang terencode (sering dipakai pada transmisi, storage, enkripsi) kemudian diterima, atau dapat mendecode bentuk tersebut agar dapat dilihat atau dimanipulasi ke berbagai bentuk lainnya. Beberapa contoh format video dan audio yang popular di antaranya: AVI, Quicktime, MJEPEG, AAC, Aiff, Wav, dan MP3.
QuicktimeExport

AVI ( Audio Video Interleaved ) diperkenalkan oleh Microsoft pada tahun 1992 sebagai bagian dari teknologi Video for Windows miliknya. File AVI menyimpan data audio dan video pada struktur interleaved. File ini hanya berupa kontainer- dan data audio video dapat dikompres menggunakan berbagai codec. Kualitas dan kapasitas tergantung pada codec dan secara khusus codec yang digunakan adalah MPEG, Divx atau WMV.
Quicktime adalah teknologi multimedia sekaligus format file yang dikembangkan oleh Apple Computer dan pertama sekali diprkenalkan pada tahun 1991. file adalah kontainer multimedia yang terbentuk atas satu atau lebih track seperti audio, video, teks atau efek digital. Masing-masing track mengandung media track, baik itu media stream yang telah di encode atau pointer-pointer pada file eksternal. codec yang digunakan untuk compress dan decompress data di Quicktime, JPEG, Divx, Cinepak, Sorensen dan bahkan MPEG-2 dan MPEG-4. Oleh sebeb itu, quicktime lebih cocok digunakan untuk aplikasi internet dibandingkan AVI.

MJPEG ( Motion JPEG) : adalah codec video yang mengompres masing-masing frame sebagai JPEG image yang terpisah. Kualitasnya tergantung pada pergerakan di footage. Sebaliknya pada video MPEG, kualitas menurun apabila ada banyak gerakan di footage. Kekurangan dari codec ini adalah ukuran file yang besar. MPEG merupakan format kompresi yang distandarisasi oleh Moving Picture Experts Group (MPEG), yang terbentuk oleh 350 perusahaan dan organisasi.
AAC (Advance Audio Codec adalah sistem lossy compession untuk file audio, dikembangkan oleh Motion Picture Expert Group ( Fraunhofer Institute, Dolby, Sony, Nokia dan AT&T ) untuk menggantikan MP3. Ini perluasan dari MPEG-2 standard dan mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan MP3, kompresi yang lebih effisien dengan kualitas suara audio yang lebih baik dan mendukung audio multichannel.
AIFF dan AIFC ( Audio Interchange File Format ) merupakan format file yang tidak dikompres, yang dikembangkan oleh Apple pada Machintosh dan platform Unix.
MP3 : MP3 ( MPEG-1/2 Audio Layer 3 ) adalah format audio yang paling poluler. Menggunakan algoritma audio lossy compression untuk mengurangi ukuran file, sambil memprouksi kembali lagi aslinya. MP3 dikembangkan di German Fraunhofer Institute dan berbasis format MPEG. MP3 mengalami kejayaan pada tahun 1995, dimana semakin banyak file MP3 tersedia di internet dan popularitasnya semakin terdongkrak karena kualitasnya dan kapasitas yang menjadi elative sangat kecil. Kompresi MP3 dapat dilakukan dengan bit-rate yang beragam. Standar yang baik untuk kualitas audio dan ukuran file adalah 128 Kbps, untuk mendapati kualitas yang mendekati kualitas CD diperlukan bit-rate 192 kbps. Kualitas CD dan MP3 sulit dibedakan pada bit-rate 192 kbps. Pada tahun 2001, MP3 Pro generasi berikutnya diperkenalkan dan menawarkan kualitas suara dan kompresi yang sudah ditingkatkan, namun karena tidak ada decoder MP3Pro gratisan, format yang sebenarnya luar biasanya ini belum dapat menggantikan standar MP3.

Yang Perlu Diperhatikan
Proses pemindaian format data audio video mesti diperhatikan dengan seksama, karena kalau tidak hasil akhir tidak akan sesuai dengan yang kita harapkan. Setting untuk masing-masing converter data audio video mungkin berbeda, namun secara umum yang harus diperhatikan antara lain: aspect ratio, resolusi, serta frame rate.
Upscale atau mengubah skala menjadi lebih besar dan downscale atau mengubah ukuran skala dari besar menjadi kecil sebenarnya tak direkomendasikan, tapi jika ini memang terpaksa maka perhatikan ukuran skala tersebut 4 : 3 menjadi 16 : 9 atau 16 : 9 menjadi 4: 3.
aspect ok 

perbandingan aspect ratio
Resolusi video tak kalah pentingnya, ada beberapa resolusi video yang bisa dipilih yang paling baik tentu saja lostless yakni resolusi tertinggi alias tak ada penurunan kualitas dari sisi resolusi gambar.
Ada dua macam frame rate yang popular di dalam video yakni 25f/s atau 50f/s. Yang paling penting sesuaikan dengan kebutuhan akhir serta output stasiun televisi tersebut. Kesalahan pemilihan frame rate akan membuat video menjadi jitter atau terlihat bergetar terutama ketika gambar bergerak, baik pergerakan subyek maupun karena pergerakan kamera ketika saat pengambilan gambar atau shooting.
Demikian juga dengan audio, percuma gambar atau visual baik tapi kualitas audio yang buruk. Konversi audio juga harus diperhatikan, kaitannya dengan konversi melalui codec salah satu yang harus diperhatikan dalam audio apakah mengunakan 32Khz, 44Khz, atau 48Kz. Penurunan kualitas audio bisa terjadi ketika pengaturan setting audio pada konversi codec keliru.

Stand Alone vs Embeded
Seperti uraian di atas, bahwa ada dua jenis converter untuk pengaturan codec yakni yang berdiri sediri atau stand alone dan yang sudah menyatu dalam software editing video. Pada dasarnya fungsinya sama persis, yakni memindai satu format ke format lainnya. Yang membedakannya adalah yang satu dikonversi dahulu lalu file tersebut “ditarik” ke dalam project software editing sedang satunya lagi langsung dikonversi ketika file hasil shooting tersebut dipindahkan ke dalam software editing.
mac-convert-xf300-to-mov
Ada banyak converter yang bias digunakan dari yang gratisan sampai yang berharga lumayan mahal. Yang paling popular di antaranya Xilisoft Video COnverter, Miro Video, Total Video Converter, iWosoft, dan lain-lain. Sedang untuk beberapa software editing yang sudah embedded di antara Adobe Premiere CS 5 yang sudah bisa meingfport file jenis XMF, Avid Composser, serta Final Cut Pro.
Mana yang lebih efektif? Ini tergantung dari manajemen data yang diberlakukan pada masing-masing paska produksi baik di production house maupun di televisi. Kalau itu dilakukan di rumahan tentu lebih leluasa lagi.

Dokumenter Televisi, Bukan Sekadar Dokumentasi

Dokumenter Televisi, Bukan Sekadar Dokumentasi

Pelbagai acara televisi di berbagai kanal seolah mengatakan “tonton kami, tonton kami!” Dan pada akhirnya hanya tontonan menariklah yang akan menjadi pilihan pemirsa. Itupun mereka belum tentu setia mengikuti acara televisi hingga akhir acara. Ketidaksetiaan itu dipengaruhi oleh berbagai alasan, dan alasan paling umum biasanya acara tak menarik untuk diikuti sampai selesai. Maka dalam hitungan sepersekian detik penonton dengan mudah akan mengganti kanal atau saluran televisi.

Seringkali acara televisi memiliki segment tertentu, ketertarikan acara televisi dipengaruhi oleh minat penonton karena berbagai hal di antaranya faktor usia, latar belakang pendidikan, gender, dan status ekonomi sosial. Karenanya para kreator acara televisi akan memperhatikan unsur tersebut. Akan tetapi itu bukan segalanya karena kontent yang menariklah yang akan menjadi pilihan akhir.

Informasi, Edukasi, Hiburan!
Televisi apapun itu selalu terkait dengan tiga hal besar, ia harus memiliki unsur informasi, edukasi, dan hiburan. Dan unsur terakhir rupanya merupakan rumusan yang tak boleh dihindari, bahkan untuk jenis acara apapun. Ya, nyatanya acara televisi mesti menghibur. Kenapa unsur hiburan itu penting? Karena sebagian besar penonton tak menganggap serius apa yang ditayangkan di televisi. Lalu bagaimana untuk acara-acara televisi non hiburan? Medium is messege. Televisi sebagai media adalah pesan itu sendiri. Karenanya acara yang mengandung unsur informasi dan edukasi juga memiliki tempat. Acara berita tenntu saja, kanal-kanal televisi berita memiliki penontonnya sendiri. Demikian juga dengan acara yang memiliki unsur edukasi. Walaupun nyatanya tak seelok acara berita dan hiburan. Sebut misalnya Blomberg TV, LiTV, Deutche Welle, dan E-TV yang memiliki banyak acara edukasi, ia juga memiki penontonnya sendiri.
dokumenter art.stanford.edu
foto: art.stanford.edu

Dokumenter TV vs Acara Lain
Di antara format acara televisi yang memiliki kekhasan dan memiliki penonton tersendiri ialah dokumenter. Sebetulnya dokumenter televisi merupakan salah satu format acara televisi paling awal era tayangnya televisi itu sendiri, namun berbagai format baru nyaris saja menggilas acara ini utamanya acara dengan format hiburan seperti sinetron, gameshow, music show, talent hunting atau ajang pencarian bakat, dan quiz. Karenanya para kreator dokumenter televisi mesti berpikir keras bagaimana agar dokumenter televisi bisa tetap menjadi tontonan menarik, bahkan memiliki ketiga unsur tadi yakni memberikan informasi, ada unsur edukasi, serta menghibur. Maka kanal-kanal televisi dokumenter bisa masih eksis, Discovery Channel sebagai salah satu televisi yang mengkhususkan pada acara dokumenter melahirkan kanal-kanal baru yang lebih spesifik seperti Discovery Kid dan Discovery Family.
dokumenter www.publicaffairs.ubc.ca
foto: publicaffairs.ubc.ca

Realitas dan Kreativitas
Dua hal yang paling khas dam dokumenter televisi ini tak bisa dipisahkan, realitas atau kenyataan alias bukan fiksi serta kreativitas, yaitu bagaimana agar sesuatu yang ada dalam kenyataan ini bisa didesain sedemikian rupa dengan sekreatif mungkin oleh para pembuat dokumenter televisi. Karenanya dokumenter sering disebut sebagai perlakuan kreatif atas realitas.
Bisa jadi inilah yang menjadi titik poin kenapa dokumenter televisi di Indonesia masih belum menjadi acara unggulan kecuali di beberapa televisi seperti MetroTV, TVOne, KompasTV dan terakhir NET. Kreatifitas semestinya tanpa batas agar dokumenter tak menjadi acara yang membosankan. Ada beberapa faktor kenapa ini tak terjadi secara baik di televisi yang ada di Indonesia. Kreativitas akan berkaitan dengan sumber daya manusia alias yang terlibat pada pembuatan dokumenter tersebut. Data sebagai salah satu hal yang sangat penting seringkali diabaikan. Data yang kemudian diolah menjadi fakta karena riset masih dirasa minim.
dokumenter indonesia bagus netmedia co id
foto: netmedia.co.id

Hal lain yang tak kalah penting adalah menyangkut ide dan tema. Sebagai salah seorang juri di KPI Award kategori dokumenter televisi, penulis melihat tema yang diangkat dalam dokumenter televisi kita masih kurang beragam. Dan ini menjadi catatan yang kita sampaikan pada KPI Award 2012 lalu.

Sekadar Dokumentasi
Mungkin ini kritik yang agak berlebihan, tapi dengan berat hati penulis sampaikan nyatanya dokumenter televisi kita masih banyak yang sekadar dokumentasi. Separah itukah? Semoga tidak demikian ke depannya, setidaknya kabar baik itu bisa kita lihat pada dokumenter televisi di KompasTV dan NET. Namun secara umum memang dokumenter televisi kita jauh dari apa yang dikatakan di atas, perlakuan kreatif atas realitas. Alih-alih kreativitas yang tinggi, beberapa serial dokumenter televisi kita masih minim akan riset. Ini bisa kita temui misalnya ketika kita menonton dokumenter televisi di tv kita minim akan informasi sehingga informasi yang disuguhkan cenderung dangkal.

Ditinggalkan atau Mengejar
Pilihannya hanya ada dua, dokumenter televisi kita akan ditinggalkan atau dibuat sedemikian rupa menarik dengan mengejar program-program yang jauh lebih dahulu diminati penonton. Berat memang, dokumenter televisi tak bisa sedramatis sinetron atau FTV yang memang naskahnya dibuat berdasar khayalan. Namun bukan berarti dokumenter tidak bisa menarik. Hal-hal teknis yang bisa dilakukan pada program lain bisa juga diterapkan pada dokumenter televisi. Untuk videografi atau pengambilan gambarnya, dokumenter televisi di NET sudah lumayan bahkan bagus menyusul dokumenter yang ada di KompasTV. Keindahan gambar pada dokumenter televisi tidak kalah dengan gambar-gambar yang ada di sinetron. Namun masih ada yang mesti diperbaiki yakni konten atau isi acara. Riset menjadi teramat penting dilakukan oleh para pembuat dokumenter televisi. Tentu saja bukan riset yang ala kadarnya. Demikian juga dengan tema. Dari Aceh hingga Papua, dengan keberagaman hayati, sosial, seni, dan budaya sepertinya tak akan pernah kurang. Subyek dan obyek yang itu-itu saja apalagi misalnya tempat yang sudah sangat familiar tentu akan menjadi membosankan jika itu terus diulang. Artinya para kreator jangan terjebak dengan hal yang itu-itu saja. Keberagaman dan pelbagai potensi alam serta aspek sosial di dalamnya merupakan modal yang sangat besar. Lalu beranikan para pembuat dokumenter mulai melirik tema lain yang tak sekadar ikut-ikutan dengan hasil dokumenter televis yang pernah dibuat sebelumnya?
dokumenter nationalgeographic co id
gambar: nationalgeographic.co.id

Lokal untuk Global!
Ini barangkali kelemahan lain para pembuat dokumenter televisi kita, mereka membuat acara dokumenter memang untuk ditayangkan di tv lokal, nasional, atau berjaringan nasional. Jadi membuat dokumenter hanya berdasar yang “diinginkan” lokal saja. Barangkali akan beda jika para pembuat dokumenter berpikir bahwa kelak hasil dokumenter televisi tersebut akan ditayangkan secara internasional seperti halnya National Geographic atau Discovery Channel. Karena dengan ditayangkan luas di berbagai negara, secara kualitas juga akan memenuhi standar internasional. Quality control yang mereka lalkukan sangat ketat, baik aspek teknis maupun konten. Jadi, buatlah acara dokumenter televisi konten lokal yang (akan) ditayangkan di televise jaringan mancanegara.

Dokumenter TV lebih tepat untuk menyebut istilah Feature

Pada buku Teknik Produksi Program TV yang ditulis oleh Fred Wibowo, dijelaskan definisi dari feature, yaitu suatu program yang membahas suatu pokok bahasan satu tema, diungkapkan lewat berbagai pandangan yang saling melengkapi, mengurai, menyoroti secara kritis dan disajikan dengan berbagai format (bab 9 : 188).

Kemudian dijelaskan kembali pada paragraph berikutnya pengertian dari format tersebut adalah wawancara, show, vox-pop, puisi, musik, nyanyian, sandiwara pendek atau fragmen (9:188). Selanjutnya juga dijelaskan didalam buku tersebut bahwa feature merupakan gabungan antara unsur dokumenter, opini dan ekspresi (9:189).

Kemudian beberapa kalangan jurnalistik tv yang menyebutkan program tvfeature, sebagai sebuah bentuk karya yang berbeda dengan karya dokumenter, dengan alibi yang tidak memiliki dasar yang pasti, mengungkapkan bahwa karya feature ini adalah sebuah karya yang lebih menitik-beratkan pada kedalaman informasi, jelas-jelas hanya mencari-cari alasan yang tak pasti dan terkesan membela dirinya. Film dokumenter seperti yang telah dijelaskan telah mencakup kedua hal tersebut didalam melayani informasinya.

Dengan penjabaran diatas, jelas sudah bahwa karya program tv yang dimaksudkan dengan feature, hanyalah istilah yang digunakan dengan mengadopsi secara serampangan. Begitu beragamnya bentuk program televisi yang mengusung isi dan tema sebuah realitas tertentu, hanyalah varian dari format awalnya, yakni dokumenter. Kata feature hanyalah diperuntukkan bagi durasi jam tayang atau masa putar sebuah film, yang lebih tepatnya film panjang, karena berdasarkan durasinya film terbagi atas film pendek –short film-, film menengah –middle film- dan film panjang –feature film-.

Maka dengan pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya, karya featurepada televisi dapat dikatakan TIDAK ADA, atau istilah ini tidak dikenal pada karya-karya yang dimaksudkan oleh kalangan yang mengusung istilah ini, karena nama dari program ini sudah begitu identik dan sudah menemukan jati dirnya sebagai DOKUMENTER, kalaupun untuk membedakan karya dokumenter, hanyalah sebatas pada ruang media penayangannya saja, yaitu film dan tv, maka akan jauh lebih baik dan lebih bijak dengan memberikan istilah karya feature ini sebagai karya DOKUMENTER TV.

Sedangkan untuk penegasan sekali lagi, kata feature secara umumnya dikenal hanya sebagai persamaan dari durasi atau masa putar tayangan sebuah film, baik itu film fiksi dan film dokumenter.

Maka fakta yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut, bahwa:
-  Sejak kemunculannya, film telah mempertunjukkannya kedalam dokumenter, meskipun masih  
   teramat sederhana.
-  Film memiliki bahasanya yang unik dan khas, tidak hanya pada unsur teknis, tetapi juga pada
   kisahnya. Dengan kata lain, film apapun akan memberikan kisah, meskipun itu sebuah film
   abstrak.
-  Kehadiran TV telah memberikan ruang baru terhadap dokumenter. Eksplorasi dokumenter pun
   semakin kaya.
-  Di Indonesia, berdirinya stasiun TV Swasta menyebabkan masuknya para jurnalis media cetak   
   dan membawa apa yang menjadi cirri media cetak kedalam media elektronik, tv. Hal inilah yang
   menyebabkan timbulnya istilah feature di media tv.
-  Definisi feature yang tidak jelas dan serampangan bahkan tidak memiliki sumber yang pasti,
   menyebabkan kebingungan, bahkan diantara para jurnalis tv itu sendiri.
-  Kekuatan senioritas dikalangan jurnalis media cetak tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan
   media film dan tv.
-  Unsur teknis dan penuturan naratif pada film (bioskop dan dokumenter) merupakan fakta bahwa
   karya feature bukanlah karya audio-visual, melainkan karya tulisan media cetak.
-   Rentang informasi naratif yang diberikan baik pada film ataupun dokumenter, bukanlah sebuah
   standar definisi dari isitilah yang dimaksud dengan karyafeature.
-  Feature hanyalah istilah yang digunakan sebagai durasi pada film (bioskop dan dokumenter)
   yang penayangannya lebih dari 1 jam/60 menit.

Dengan demikian dari uraian yang telah dijelaskan diatas sebelumnya, dapatlah menjadi tolok ukur kita dalam menggunakan istilah feature pada karya dokumenter televisi. Untuk itu sebaiknya hanya ada satu pertanyaan yang harus dijawab dari pembahasan ini, yaitu:

Akankah para jurnalistik media cetak juga mau mengakui dan setuju untuk memberikan istilah pada karya tulis feature di suratkabar dengan istilah dokumenter?