Abstrak

Kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Sebuah gambar kartun yang mengandung sebuah kritikan yang dimuat sebuah koran atau majalah dan dimuat di rubrik opini adalah kartun editorial (editorial cartoon).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna yang terkandung dibalik konfigurasi objek-objek visual pada kartun editorial karya kartunis dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan kecenderungan pola visual pada karya tersebut.

Dengan mengkaji lewat makna kartun editorial merupakan salah satu karya seni yang dapat dijadikan rujukan untuk memahami dinamika sosial yang sedang terjadi di masyarakat.

Dengan melalui pendekatan ikonografi dan ikonologi dari Erwin Panofsky memberi tiga tahapan dalam menganalisis, yaitu sebagai tahap awal untuk mendiskripsikan ciri-ciri visual yang tampak (tahap preiconographical), tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder dengan melihat hubungan antara motif sebuah seni dengan tema, konsep atau makna yang lazim terhadap peristiwa yang diangkat oleh sebuah gambar (tahap iconography), dan tahapan melakukan interpetasi dengan mempertimbangkan pemaparan mengenai obyek dari kartunis (tahap iconology).

Key words : kartun editorial, makna, ikonografis.

Pendahuluan

Kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi dan simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang. Dengan kata lain, kartun merupakan metafora visual hasil ekspresi dan interpretasi atas lingkungan sosial politik yang tengah dihadapi oleh seniman pembuatnya (Nugroho, 1992:2).

Kritik kartun sebenarnya hanya usaha penyampaikan masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang mengkritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri, dengan harapan akan adanya perubahan. Aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun sebenarnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta historis bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi mempergunakan kekuatan atau kekuasaan (Anderson, 1990:162).

Untuk mengetahui makna dan pola visual yang terdapat pada kartun editorial karya kartunis, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ikonografi dan ikonologi. Dalam penelitian ini yang menitikberatkan pada penelaahan makna dalam kartun politik, perlu kemampuan dalam menginterprestasikan makna yang terkandung di dalamnya.

Pengertian dan Klasifikasi Kartun

Pengertian kartun yang sebenarnya adalah meminjam istilah dari bidang fine arts. Kata kartun berasala dari bahasa Itali cartone yang berarti ”kertas”. Kata kartun pertama-tama digunakan untuk menyebut desain atau sketsa dalam ukuran penuh untuk lukisan cat minyak, permadani atau mozaik. Kata tersebut memperoleh arti yang dikenal orang masa kini secara kebetulan.

Beberapa desainnya sangat buruk sehingga Punch mereproduksi kartun-kartun yang dimaksudkan untuk desain itu, lalu menerangkannya dengan nada sindiran. Lahirlah kartun Punch, dan kata itupun lalu memperoleh arti barunya. ”Punch” merupakan majalah satir yang menjadi media kritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai aspirasi masyarakat. Sejak saat itu kata ”cartoon” mulai dipakai untuk menyebut gambar sindir (Wagiono, 1983:33).

Pengertian kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang. (Setiawan, 2002:34)

Terkait dengan pengertian kartun, pendapat GM Sudarta, seperti yang dikutip Alex Sobur (2003:138) menjelaskan bahwa kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu sendiri. Satu hal yang kemudian dapat disimak adalah pernyataan dari Smith (1981:9) : …in fact ’cartoon’ and ’caricature’ are here regarded as exactly synonymous. Apa yang diungkapkan Smith merupakan pendapat yang dapat menjembatani perbedaan mengenai kartun dan karikatur.

Dalam The Encyclopaedia of Cartoons (Horn, 1980:15-24), pengertian ”cartoon” dibagi lagi menjadi empat jenis sesuai dengan kegiatan yang ditandainya, yaitu : Comic Cartoon, Gag Cartoon untuk lelucon sehari-hari, Political Cartoon untuk gambar sindir politik, Animated Cartoon untuk film kartun.

Pengertian Kartun editorial (editorial cartoon) yang digunakan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga sering disebut kartun politik (political cartoon). Dalam kartun politik, seringkali muncul figur dari tokoh terkenal yang dikaitkan dengan tema yang sedang hangat-hangatnya yang terjadi di dalam masyarakat. Karikatur bisa saja muncul dalam sebuah karya kartun editorial untuk menampilkan tokoh yang disindir (Priyanto,2005:4).

Tinjauan Mengenai Pendekatan Ikonografis

Pemakaian metode ikonografi dan ikonologi digunakan dalam menganalisis interpretasi tersebut. Seperti Theo Van Leeuwen mengatakan bahwa ikonografi membedakan tiga lapisan arti gambar : arti/makna gambar (representational meaning), simbolisme ikonografi (ionographycal symbolism), dan simbolisme gambar/ikon (iconological symbolism) (Van Leeuwen, 2001: 100).

Erwin Panofsky menjelaskan dalam ikonografi merupakan kajian yang memperhatikan konfigurasi dari gambar pada suatu karya untuk mengetahui makna yang tersembunyi. Selanjutnya Panofsky memberi tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconographical, iconography, dan iconology.

Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui pendekatan iconography (ikonografis) dan iconology (ikonologi) maka sebuah pesan piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Van Leeuwen, 2001:93).

Berasal dari bahasa Yunani, kata iconography, terdiri atas kata aekon yang berarti sebuah gambar dan kata graphe yang berarti tulisan. Ikonografi yang lazim dimengerti sebagai kajian tentang tanda yang memiliki referensi, merupakan sebuah ladang luas yang objeknya kajiannya mencakup berbagai disiplin pemikiran. Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya).

Ikonografi membedakan tiga lapisan arti gambar : arti/makna gambar (representational meaning), simbolisme ikonografi (iconographycal symbolism), dan simbolisme gambar/ikon (iconological symbolism) (Van Leeuwen, 2001: 100).

Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya) (Panofsky, 1939 : 3).

Menurut Panosfky, proses menginterpretasi obyek seni dan gambar dapat melalui tiga tahapan, analisis makna secara ikonografi dan ikonologi, yaitu :

1.Tahap Preiconographical

Tahapan untuk mengidentifikasi melalui hal-hal yang lazim dan sudah dikenal (alami). Tahapan ini dapat disebut pemahaman secara faktual dan ekspresional. Pemahaman ini didasarkan atas pengalaman masing-masing individu terhadap suatu objek gambar. Dengan mengamati dengan mengindentifikasi unsur artistik dari objek gambar (konfigurasi tertentu dari garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek keseharian tertentu), hubungan-hubungan yang terjadi pada objek dan identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan pose atau gesture dari objek.

2.Tahap Iconographical

Tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder dengan melihat hubungan antara motif sebuah seni dengan tema, konsep atau makna yang lazim terhadap peristiwa yang diangkat oleh sebuah gambar. Motif-motif yang kemudian dikenali sebagai pembawa makna sekunder disebut sebagai image/citra/wujud.

3.Tahap Interpretasi Ikonologi

Pada tahapan ini makna yang paling hakiki dan mendasar dari isi sebuah karya kartun benar-benar dipahami. Pemahaman mengenai makna intrinsik yang terdapat dalam sebuah objek diperoleh dengn mengungkapkan prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat menunjukan perilaku sikap dasar dari sebuah bangsa, kurun waktu, strata sosial, ajakan religius atau filosofis tertentu.

Memahami iconologi lebih dari sekedar mencari gejala, tetapi merupakan interpretasi yang mendalam dari pengetahuan teknis mengenai produksi seni, melalui pengetahuan iconographical yang luas menuju sebuah kesimpulan (Ross Woodrow, 1999:3).

Analisa Karya Kartun Editorial Melalui Ikonografis

Pembahasan yang digunakan untuk menganalisis karya kartun editorial melalui tiga tahapan seperti analisis makna secara ikonografi dan ikonologi oleh Erwin Panofsky dimana ketiga tahapan itu berlangsung berurutan. Dalam hal ini mengambil contoh kartun editorial karya T. Sutanto yang dimuat dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, No. 36 Th. II Pebruari 1967.

Gambar 1. Jatuhnya Kekuasaan Soekarno, Mingguan Mahasiswa Indonesia, No. 36 Th. II Pebruari 1967, Sumber : Repro Dok. Narsen

Tahapan-tahapan analisis tersebut, yaitu :

Tahap Preiconographical. Dengan mengamati dengan mengindentifikasi unsur artistik dari objek gambar (konfigurasi tertentu dari garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek keseharian tertentu), hubungan-hubungan yang terjadi pada objek dan identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan pose atau gesture dari objek. Pada tahap ini akan mendeskipsikan ciri-ciri visual yang tampak pada karya kartun editorial yang sudah melalui seleksi.

Tahap Iconographical. Tahapan untuk menganalisa rangkaian gambar dengan memperhatikan peristiwa yang berhubungan antara karya serta situasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat pada saat itu.

Tahap Interpretasi Ikonologis. Disini akan melakukan interpretasi dengan mempertimbangkan pemaparan mengenai gambar dari pembuat kartun tersebut, disini adalah kartunis. Pada tahapan ini makna yang paling hakiki dan mendasar dari isi sebuah karya kartun benar-benar dipahami.

Pada karya ini, T. Sutanto menempatkan figur Soekarno sebagai figur yang dominan dengan penggambaran postur yang lebih menonjol dengan seluruh badan terlihat dibandingkan dengan figur-figur lain yang tampil dalam kartun tersebut. Bentuk lain yang menyertai kartun poltik tersebut antara lain tangan yang besar yang berusaha menggulingkan kekuasaan Soekarno secara sah dan sesuai konstitusional.

Untuk mengetahui makna yang terkandung pada kartun ini, secara bertahap akan diuraikan berbagai aspek pada karya kartun :

a. Deskripsi Preiconographical

Dengan posisi gambar horizontal, dalam kartun ini tampak dua figur manusia. Sosok sentral pada kartun ini adalah figur laki-laki dengan memakai peci dan kaca mata, memakai bintang jasa yang banyak sekali di setelan jas. Figur laki-laki ini sedang berdiri tegak sambil mengacungkan ujung jari ke atas dalam posisi membacakan pidato dengan semangatnya. Figur laki-laki dalam posisi pengambilan gambar long shoot. Dengan pandangan lurus ke samping dengan bibir yang sedang berpidato. Di kedua tangannya memegang teks pidato yang berwarna hitam dengan tulisan MANIPOL (Manifesto Politik), RESOPIM, NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme) berwarna putih. Garis membentuk kontur dari gambar figur yang sederhana namun mengacu pada karakter wajah seseorang.

Dengan posisi di bagian samping kanan figur sebuah tangan besar yang menggunakan pakaian resmi (setelan jas) berwarna hitam yang sedang berusaha mengangkat podium yang digunakan Presiden Soekarno untuk berpidato dengan sebuah tumpukan buku yang berjumlah dua buah.

Dimana dalam kedua buku berwarna putih tersebut bertuliskan UUD’45 dan Pancasila dengan warna teks hitam. Gambar tangan diposisikan dalam gambar dengan pengambilan close up. Untuk memberi kesan gerak, maka di sebelah kanan figur Soekarno yang sedang terguling ada goresan garis (moving line) serta kepulan asap untuk memberi efek yang dramatis dan dinamis.

b. Analisa Iconographical

Kartun ini berkaitan dengan momen jatuhnya pemerintahan Soekarno dimana masih berusaha memegang pusat pemerintahan tetapi kharisma magisnya tidak berfungsi lagi. Soekarno akhirnya jatuh dan pada tanggal 12 Maret 1967 melalui MPRS dipaksa menanggalkan semua kekuasaan dan gelar Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden.

Tema dari kartun ini adalah memperlihatkan hubungan antara era Soekarno dengan ideologinya yang bertentangan dengan UUD’45 dan Pancasila sampai akhirnya jatuh kekuasaan ke Soeharto melalui MPRS.

Berikut ini analisa ikonografi dari gambar yang terdapat kartun yang bertema tentang turunnya kekuasaan Soekarno :

  1. Dilihat dari pesan artifaktual pada kartun ini, terdapat figur yang apabila dilihat ciri-ciri fisik dan asesories pakaian yang dipakainya merupakan bentuk figur Soekarno. Walau tanpa garis yang detail, karakter wajah dan figur Soekarno tampak jelas. Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Soekarno adalah sebagai orator yang ulung dengan semangat yang menyala-nyala. Figur Soekarno dengan mengenakan peci hitam dan jas beserta bintang medali penghargaan menunjukkan pesan artifaktual sebagai pejabat negara (presiden). Figur Soekarno memegang teks pidato yang bertulis MANIPOL, RESOPIM, dan NASAKOM.. Teks ini berkaitan ideologi yang dipakai dalam menjalankan pemerintahan Soekarno pada waktu itu. Pesan fasial dari gambar suatu keadaan yang ironis dimana Presiden Soekarno sedang pidato dengan semangat untuk mengagung-agungkan ideologi MANIPOL, RESOPIM, dan NASAKOM, tetapi di sisi lain malah berada dalam posisi turun dari kekuasaan sebagai Presiden.
  2. Figur lain adalah bentuk tangan yang besar yang sedang berusaha menggulingkan podium dengan menarik dua buku sebagai landasan tempat Soekarno berdiri. Kedua buku trsebut sebagai wujud dari konstitusi negara yaitu UUD’45 dan Pancasila. Gambar tangan dan kedua buku merupakan metafora dari keadaan politik pada waktu itu dimana pemerintahan Soekarno sudah melenceng dari ideologi negara. Garis yang cenderung ekspresif pada kartun ini lebih ditujukan untuk meyampaikan pesan secara langsung. Wajah Soekarno tidak memerlukan teknik karikatural, sehingga cenderung simpel dan mudah seseorang pemirsa mampu merepresentasikan bahwa figur tersebut adalah SoekarnoKesan ruang dan perspektif hanya diperlukan sedikit untuk menunjukkan obyek podium sebagai tempat berdiri Soekarno dengan menggunakan raster untuk menambah kesan gelap terang (tonality).

Dari analisa visual terhadap gambar-gambar yang hadir pada karya kartun politik ini dapat disimpulkan ciri-ciri visual sebagai berikut :

  1. Dihadirkan dua pihak yang saling bertentangan yaitu figur Soekarno dan gambar tangan yang berusaha menjatuhkan kekuasaan Soekarno.
  2. Sosok tangan sebagai representasi rakyat Indonesia dengan kekuatan hukum yaitu UUD’45 dan Pancasila, sementara figur Soekarno tampil postur yang lebih kecil.
  3. Penggambaran Soekarno ditampilkan long shot, sementara sosok tangan ditampilkan close up.

c. Interpretasi Ikonologis

Dalam kartun ini ditampilkan dua figur yang saling berlawanan. Figur pertama adalah figur Soekarno merupakan sosok sentral pada masa Pemerintahan Orde Lama. Sebagai figur yang mendominasi pada waktu itu dengan bentuk pemerintahan Soekarno (metafora pemegang kekuasaan) yang dinamakan ”Demokrasi Terpimpin”, walaupun prakarsa pelaksanaannya diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. T. Sutanto mengkaitkan peristiwa pada saat Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin, yang kemudian dinamai MANIPOL (dari Manifesto Politik).

Walaupun secara visual figur Soekarno terlihat utuh (long shot), namun secara keseluruhan tampilan Soekarno cenderung tidak dominan, disini T. Sutanto ingin menggambarkan posisi Soekarno walaupun mempunyai kekuasaan dan kharisma yang tinggi namun tak berdaya dengan kekuatan dari UUD’45 dan Pancasila.

Dari penjelasan T. Sutanto terdapat beberapa hal yang menarik mengenai tampilan Soekarno, dimana T. Sutanto mengaku kurang telaten dan tidak mahir seperti dalam penggambaran wajah seorang figur dalam karikatural. Tetapi lebih mementingkan situasi yang mendukung pesan dalam kartun tersebut bukan wajah (karikatur).

Seperti figur Soekarno tampil dengan tarikan garis yang simpel namun dengan artifaktual baik pakaian kebesaran (penuh dengan medali penghargaan) dengan peci serta gesture yang mewakili karakter Soekarno, maka T. Sutanto dalam menampilkan figur Soekarno berhasil.

Obyek gambar medali penghargaan yang digambarkan sangat banyak di pakaian Soekarno, menurut T. Sutanto sebagai representasi dari sikap Soekarno seperti, otoriter, kepercayaan diri yang besar, gila kekuasaan, pengakuan diri sebagai presiden seumur hidup, dan politik mercusuarnya.

Sedangkan figur kedua adalah sosok kedua tangan yang memegang dua buku bertuliskan UUD’45 dan Pancasila sebagai metafora keinginan rakyat Indonesia sebagai penguasa tertinggi. Secara tidak langsung dalam kartun politik, T. Sutanto mengritik Soekarno dengan ideologi-ideologinya yang tidak sesuai dengan kehendak para rakyat yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Soekarno.

KESIMPULAN

Kartun editorial lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan. Mengenai kandungan kritiknya dalam kartun editorial yang sering lugas, tegas kadangkala pedas, tampaknya dipengaruhi oleh situasi dalam menyikapi kebijakan atau peristiwa yang sedang terjadi.

Untuk mengetahui makna dan pola visual yang terdapat pada kartun editorial, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ikonografis dan ikonologis. Dalam pendekatan ini yang menitikberatkan pada penelaahan makna dalam kartun editorial, perlu kemampuan dalam menginterprestasikan makna yang terkandung di dalamnya.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis karya kartun editorial melalui tiga tahapan seperti analisis makna secara ikonografi dan ikonologi oleh Erwin Panofsky dimana ketiga tahapan itu berlangsung berurutan. Erwin Panofsky menjelaskan dalam ikonografi merupakan kajian yang memperhatikan konfigurasi dari gambar pada suatu karya untuk mengetahui makna yang tersembunyi. Selanjutnya Panofsky memberi tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconographical, iconography, dan iconology.

Dalam kajian ini, faktor kartunis (sebagai pencipta) menjadi penting untuk dibicarakan karena latar belakang, kondisi sosial, dan aspek psikologis berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam menampilkan suatu gambar visual. Namun dalam hal ini, aspek yang diutamakan adalah aspek formal yang membahas aspek kualitas visual yang akan dikaji secara lebih mendalam. Sehingga dari analisis ikonografi dan ikonologi diharapkan akan menghasilkan sebuah hasil yang komprehensif untuk melihat karya kartun editorial dengan mengkaitkan antara pola visual dan makna yang terdapat didalam karya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aly, Rum, 2006, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Mitos dan Dilema : Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970, KATA HASTA PUSTAKA, Jakarta.

Anderson, Benedict R.O’G., 1990, Language and Power: Exploring Political Culture of Indonesia, Ithaca : Cornell University Press.

Bishop, Franklin, 2006, The Cartoonist’s Bible, Quarto Publishing plc, London.

Bonneff, Marcel, 1998, Komik Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Budiman, Kris, 1999, Kosa Semiotika, LKIS, Yogyakarta

____________, 2003, Semiotika Visual, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta.

Liliweri, Alo, M.S. 1994, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mahamood, Mulyadi, 1999, Kartun dan Kartunis, Stilglow Sdn. Bhd, Selangor.

Mallarangeng, Andi A., 2007, Dari Kilometer 0,0, Indonesia RDI, Jakarta.

Masdiono, Toni, 1998, 14 Jurus Membuat Komik, Creative Media, Jakarta.

McCloud, Scott, 2001, Understanding Comics, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Odgen, C. dan Richard, I., 1923, The Meaning of Meaning, Routledge & Kegan Paul, London.

Panofsky, Erwin, 1955, Meaning in The Visual Arts, Doubleday Anchor Books, New York.

______________,1939, Studies in Iconology, Oxford University Press, New York.

Pramoedjo, Pramono R., 2008, Kiat Mudah Membuat Karikatur : Panduan Ringan dan Praktis Menjadi Karikaturis Handal, Creative Media, Jakarta.

Priyanto, S., 2005, Metafora Visual Kartun pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957, Disertasi, FSRD ITB, Bandung.

Setiawan, Muhammad Nashir, 2002, Menakar Panji Koming, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Sibarani, Agustin, 2001, Karikatur dan Politik, Garda Budaya, Jakarta.

Sudarta, GM., 1987, Karikatur Mati Ketawa Cara Indonesia, Prisma, LP3ES, Jakarta.

___________, 2007, 40 Th Oom Pasikom, Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007, Kompas, Jakarta.

Susanto, Astrid S., 1974, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Binacipta, Bandung.

Suwirya, 1999, Karikatur dan Kritik Sosial Pada Masa Revolusi Indonesia (1945-1947), Jurnal Sejarah-7, Gramedia, Jakarta.

Tabrani, Primadi, 2005, Bahasa Rupa, Penerbit Kelir, Bandung.

Sumber lain :

Artikel :

Ajidarma, Seno Gumira, Mang Ohle, Tokoh yang Digambar Lima Kartunis, Intisari, Edisi No. 582, Juli 2007.

Nada, Ahmad, Kartun dan Karikatur, Homo Humanis-Humoris Dalam Pers Kita, Pikiran Rakyat, Sabtu, 09 Juli 2005.

Website :

Imran, Ahda, Banyak yang Ditertawakan di Indonesia, http://www.pikiran rakyat.com/cetak/0103/05/06.htm diakses 20 Agustus 2008

Sonnesson,Goran,1999,PictorialSemiotics,www.arthist.lu.se/kultsem/sonesson/baksida.html. diakses 10 Maret 2008

Woodrow, Ross, 1999, Introduction to Iconography, www.aber.ac.uk. diakses 20 Agustus 2008.

http://www.letitpass.com/images/punch1946.gif diakses 20 Agustus 2008.